Home » Tulisan » PEMILU GUBERNUR RIAU; ANTARA DILEMA DAN HARAPAN

PEMILU GUBERNUR RIAU; ANTARA DILEMA DAN HARAPAN

6 August 2014

PEMILU GUBERNUR RIAU; ANTARA DILEMA DAN HARAPAN

Pemungutan suara dalam perhelatan Pemilihan Umum Gubernur Riau telah usai dilaksanakan. Pada tanggal 6 Desember 2013 yang lalu, KPUD Provinsi Riau telah melakukan rapat pleno yang memutuskan pasangan Annas Maamun-Arsyadjuliandi Rahman mendapat suara terbanyak sebesar 60,75% dari 2,2 juta suara yang masuk, sedangkan pasangan Herman Abdullah-Agus Widayat hanya mendapatkan sekitar 39,25% suara. Lepas dari siapa yang memenangi Pemilu Gubernur kali ini, namun jika dicermati ada beberapa hal yang menarik untuk diulas dalam tulisan ini terkait dengan penyelanggaraan Pemilu Gubernur di bumi tanah melayu ini.

Pertama, makin meningkatnya pemilik suara yang tidak menggunakan suaranya dalam Pemilu Gubernur putaran kedua ini. Dibandingkan pemilih yang menggunakan suaranya pada putaran pertama sebanyak   61,39 %, pada putaran kedua, hanya sekitar 53,03  % saja yang menggunakan hak suaranya dari total jumlah pemilih sebanyak 4.000.459 orang. Sisanya sekitar   46,97 % tidak menggunakan hak pilihnya alias golput (golongan putih). Istilah “golput” bukan lawan dari istilah “golhit” atau golongan hitam. Dalam sejarah perpolitikan di Indonesia, kemunculan golput diawali dari gerakan mahasiswa memboikot pemilu tahun 1971 dengan anjuran mencoblos bagian putih kertas suara. Pelaksaanan pemilu pada waktu itu, dinilai tidak demokratis karena kontestan peserta pemilu dari partai politik dibatasi oleh Presiden Soeharto. Jadi, golput dipandang sebagai sebuah gerakan moral dengan mengambil sikap yang secara  sadar tidak menggunakan hak pilihnya.  Sejak itu, fenomena golput kerap terjadi dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia. Dalam konteks Pemilu Gubernur Riau, masih banyaknya golput dapat dimaknai baik dalam arti positif maupun negatif. Secara positif, golput dipandang sebagai salah satu bentuk partisipasi ekstrim masyarakat dalam pemerintahan. Dikatakan ekstrim karena kelompok ini memilih tidak menggunakan hak pilihnya sebagaimana lazimnya. Esensinya adalah kritik terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang dipandang belum berjalan baik, meskipun rotasi kepemimpinan telah dilakukan secara berkala melalui pemilu. Demokrasi dalam konteks ini lebih cenderung berjalan pada aras demokrasi prosedural, belum menyentuh pada ranah demokrasi substantif. Sebaliknya golput dapat saja dinilai negatif karena dipandang sikap acuh pemilih yang dapat menciderai kedaulatan rakyat, sebab pilihan rakyat terhadap pemimpinnya menentukan nasib pemerintahan ke depan. Apalagi jika golput dilakukan bukan didasarkan pada kesadaran politik, tetapi lebih mencerminkan sikap apatis atau keengganan menggunakan hak pilih  karena alasan mengutamakan kepentingan pribadi belaka. Lepas dari itu, fenomena golput hendaknya jadi perhatian bagi siapapun yang menjadi Gubernur di Provinsi Riau, bahwa mayoritas masyarakat sudah bosan dengan segala janji manis ketika kampanye, namun butuh realisasi konkrit. Gubernur yang terpilih hendaknya dapat berkerja keras, membangun daerah untuk kepentingan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan cara itulah, kepercayaan masyarakat tehadap pemerintah daerah akan semakin membaik.

Kedua, adanya potensi terjadinya perselisihan hasil pemilukada. Mengacu pada ketentuan Pasal 24C UUD 1945  jo.  Pasal 10 ayat (1) huruf d UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi  jo. Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, ditegaskan bahwa penyelesaian perselisihan hasil pemilukada menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Perselisihan hasil pemilukada yaitu perselisihan antara pasangan calon peserta pemilukada dengan KPUD terkait dengan perbedaan hasil penghitungan suara yang dapat mempengaruhi penentuan pasangan calon yang dapat mengikuti putaran kedua pemilukada atau terpilihnya pasangan calon menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pasal 3 dan Pasal 4 PMK Nomor 15 Tahun 2008).Hal tersebut dinilai merugikan kepentingan salah satu pasangan calon, sehingga dapat saja menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Pasca pengumuman hasil rapat pleno KPUD Provinsi Riau, pasangan calon yang kalah dalam pemilihan putaran kedua Pemilu Gubernur Riau, berencana akan mengajukan permohonan perseisihan hasil pemilukada ke MK. Meskipun pengajuan permohonan merupakan hak pasangan calon dimaksud karena adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh pasangan calon lainnya yang bersifat terstruktur, masif, dan sistematis, namun perlu diingat pelanggaran tersebut hendaknya memenuhi ketentuan PMK No. 15 Tahun 2008 diatas sehingga akan dapat berdayaguna bagi pasangan calon yang berkepentingan. Apalagi Pemerintah Pusat telah melarang pelaksanaan pemilukada pada tahun 2014 yang harus ditunda pelaksanaannya pada tahun 2015. Artinya, jika kedepan Mahkamah Konstitusi memutuskan pemungutan suara ulang ataupun pemilukada ulang, maka hanya akan bisa dilaksanakan pada tahun 2015. Selama kurang lebih 1 (satu) tahun masyarakat Riau harus menunggu adanya gubernur yang definitif. Tentu saja hal ini dapat mengganggu stabilitas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Oleh sebab itu, masing-masing pihak sebelum mengajukan permohonan perselisihan pemilukada ke MK, hendaknya dipertimbangkan dulu mudharat dan manfaatnya bagi masyarakat luas.

Ketiga, Pemilu Gubernur Riau kali ini sangat minim dengan konflik yang bernuansa kekerasan. Kondisi ini patut diapresiasi yang menunjukkan  semakin membaiknya kesadaran politik masyarakat Riau dalam menciptakan pemilu yang damai. Banyak penyelenggaraan pemilukada di daerah lainnya justru cenderung konflik dengan kekerasan, yang sering dijadikan alasan oleh Pemerintah Pusat untuk mengembalikan proses pemilukada kepada DPRD, tidak dengan pemilihan langsung seperti yang dilaksanakan saat ini. Meskipun munculnya konflik adalah hal yang lumrah dalam peaksanaan pemilu, namun konflik dengan menggunakan kekerasan merupakan tindakan yang tidak dapat ditolerir dan cenderung mencederai proses demokratisasi. Kita berharap Pemilu Gubernur Riau yang berhasil dilaksanakan secara damai hendaknya dipertahankan dalam  pemilu legislatif maupun pemilu Presiden yang sebentar lagi akan dilaksanakan pada tahun 2014 mendatang

 

Beberapa fakta hukum yang dijelaskan diatas, tentunya hendaklah dipandang dengan arif sebagai bagian pernak-pernik berjalannya demokrasi di tingkat lokal. Tidak ada demokrasi yang berjalan secara sempurna di dunia ini. Masing-masing punya kelebihan dan kelemahan. Meskipun demikian, kelemahan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum Gubernur saat ini, hendaknya menjadi bahan evaluasi guna mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang lebih baik lagi ke depan, baik secara kualitas maupun kuantitas. Ketika Pemilu Gubernur dilakukan secara benar, baik proses maupun hasilnya, sesuai asas Luber-Jurdil, maka kepemimpinan lokal yang sesuai dengan harapan masyarakat dapat tercapai. Tidak ada lagi pihak yang merasa kalah dalam pemilu, sebab siapa pun yang menang merupakan kemenangan seluruh rakyat. Seperti adagium, “Vox Populi, Vox Dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan).

 

 

Ditulis oleh Dodi Haryono, S HI,SH, MH.

Tulisan